education center

Monthly Archives: January 2009

Hasil UN Tentukan untuk Masuk PTN

Hasil UN untuk Masuk PTN
Diharapkan Berlaku 2012

Hasil ujian nasional SMA dan madrasah aliyah ditargetkan menjadi bahan pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri pada 2012. Karena itu, selama tiga tahun ke depan, kredibilitas UN akan ditingkatkan agar bisa diterima kalangan perguruan tinggi.

”Pola demikian akan efisien dari segi biaya dan tak ada duplikasi penyelenggaraan tes,” kata Burhanuddin Tolla, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Rabu (7/1).

Untuk meningkatkan kredibilitas ini, maka kualitas soal ujian, penyelenggaraan, dan pengawasan UN akan terus ditingkatkan sehingga tidak ada lagi kecurangan yang dilakukan peserta UN.

”Dalam kurun waktu tiga tahun ke depan, kredibilitas pelaksanaan ujian nasional SMA/MA diharapkan sudah mantap diterima kalangan perguruan tinggi sebagai salah satu pertimbangan seleksi masuk mahasiswa baru,” kata Burhanuddin.

Meskipun hasil UN akan dimanfaatkan untuk salah satu pertimbangan masuk perguruan tinggi, kata Burhanuddin, materi soal-soal ujian tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mulai dari soal yang mudah, sedang, dan sulit.

”Ini kan masih tahap awal untuk melihat bagaimana hasil UN bisa dipakai untuk mengukur prestasi belajar siswa yang tidak diragukan pihak mana pun,” ujar Burhanuddin.

Tak perlu tes

Jika kredibilitas UN sudah dipercaya perguruan tinggi, ke depannya tidak perlu lagi ada tes massal, seperti seleksi nasional perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang bertujuan menguji kemampuan prestasi belajar calon mahasiswa. Kalaupun dilakukan tes, hanyalah tes bakat skolastik untuk mengetahui potensi calon mahasiswa yang memilih bidang studi tertentu di perguruan tinggi, serta bisa juga tes khusus yang dibutuhkan masing-masing perguruan tinggi, seperti tes warna untuk masuk jurusan atau fakultas tertentu.

”Ini juga akan menghemat biaya yang ditanggung masyarakat dan negara karena tidak terlalu banyak tes,” kata Burhanuddin.

Menurut dia, pengakuan hasil UN oleh perguruan tinggi itu memiliki manfaat positif untuk masyarakat. Sebab, hasil evaluasi belajar siswa SMA/MA juga diperhitungkan sebagai bagian dari proses seleksi mahasiswa baru.

S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, mengatakan, memakai hasil UN untuk salah satu pertimbangan masuk ke perguruan tinggi merupakan ide yang baik. Asal, konsep dari UN itu bukan sebagai penentu kelulusan seperti yang dipertahankan pemerintah sekarang ini.

Menurut Hasan, jika hasil UN ini hendak dipakai sebagai salah satu pertimbangan seleksi mahasiswa baru, pembuatan soal harus dikerjakan oleh perkumpulan perguruan tinggi atau lembaga tes independen. Keterlibatan perguruan tinggi jangan hanya sekadar pada pengawasan UN.

Epon Kurniasih, Kepala SMAN 10 Bandung, mengatakan, upaya untuk meningkatkan kredibilitas UN yang hasilnya tidak diragukan masyarakat tentu saja disambut baik siswa dan sekolah. Namun, sekolah tetap berharap supaya proses belajar siswa selama tiga tahun itu ti- dak ditentukan hasil UN semata.

Persiapan untuk menghadapi UN, kata Epon, sudah mulai dilakukan sekolah. Pemantapan mata pelajaran yang masuk UN dilakukan guru-guru bidang studi supaya siswa mampu mencapai nilai minimal yang ditetapkan secara nasional.

Sumber: Kompas.com.(ELN)
Edisi: Kamis, 8 Januari 2009

www.diknas-padang.org

Kekejaman Israel Tak Berujung

“Kami takut akan bisa mati setiap saat.”
Itu adalah ucapan Mohammed Ayyad, bocah Palestina berusia 11 tahun yang saya kutip dari dalah satu artikel website Kompas. Pernyataan ini disampaikan sang bocah pada beberapa jam setelah pesawat Israel membombardir gedung pemerintahan Hamas. Mungkin tidak hanya Ayyad yang akan mengungkapkan hal serupa. Saya, anda atau siapapun yang berada dalam situasi seperti yang dialami Ayyad akan mengungkap pernyataan di atas.

Setiap hari, setiap jam, atau bahkan dalam sekian menit, jet-jet tempur Israel menghujani Jalur Gaza dengan bom.Menurut Koordinator Bantuan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Maxwell Gaylard, serangan Israel hampir terjadi setiap menit secara rata-rata. Dengan intensnya serangan ini, maka warga Palestina di Jalur Gaza bisa dipastikan tak lagi memiliki kesempatan untuk menjalani keseharian dengan tenang. Termasuk untuk menjalankan ibadah mereka.

Justru, mereka seperti berada begitu dekat dengan kamatian. Maut terasa begitu nyata bagi setiap warga Palestina yang berada di Jalur Gaza. Tak siang, sore, malam, atau pagi buta sekalipun saat sebagian besar penduduk dunia lain tengah terlelap dalam tidurnya. Maut dari kekejian Israel itu seperti berpendar setiap saat. Tak hanya para orang tua, wanita, pemuda, dan bahkan juga anak-anak. Maut dari bom-bom Israel itu seperti tak padang bulu siapa targetnya.

Ayyada mungkin sedikit dari bocah Palestina.di Gaza yang ’beruntung’. Karena rekan-rekan sepermainan atau seumuran Ayyad telah banyak yang menjadi korban dari keganasan agresi militer Israel ini. Dalam perkiraan PBB, setidaknya ratusan anak-anak Palestina tewas dalam serangan Israel di Jalur Gaza.

Namun, ’keberuntungan’ Ayyad atau anak-anak lain yang masih selamat, mungkin akan segera terenggut setiap saat. Karena petinggi-petinggi Israel di Tel Aviv, belum mengisyaratkan akan menghentikan serangan ke Gaza. Bahkan kemudian, negara yang memerdekakan diri di atas tanah negara lain itu telah menyiapkan tambahan tentara cadangan sebanyak 2500 personil. Tujuannya jelas. Mereka bersiap melakukan serangan darat untuk terus melumpuhkan Gaza.

Lalu, dunia pun bereaksi. Beberapa kepala negara, tentu saja diluar Amerika Serikat dan Inggris, mengeluarkan kecaman terhadap agresi militer ini. Beberapa kepala negara yang lain meminta Israel menghentikan serangan dan meminta melakukan gencatan senjata. Bahkan secara khusus, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozhy, meminta Israel agar melakukan gencatan senjata selama 48 jam untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza.

Tak hanya para pemimpin negara, berbagai elemen masyarakat di berbagai belahan dunia pun turut bereaksi. Aksi demontrasi menentang kekejaman Israel menyeruak di jalanan Kota Istanbul, Amman, Brussel, sampai Jakarta. Mereka hadir di jalanan bukan karena didorong persamaan agama, bahasa, atau budaya. Tetapi, ada satu kesamaan yang akhirnya mendorong mereka berada di jalanan. Satu kesamaan itu adalah rasa kemanusiaan. Siapapun tanpa mengenal agama, budaya, atau bahasa yang mereka gunakan, meyakini apa yang terjadi di Jalur Gaza adalah sebuah tragedi kemanusiaan.

PBB dengan segala keterbatasannya karena selalu terhalang hak veto Amerika Serikat dalam mengeluarkan resolusi terhadap Israel, telah berusaha bersikap. PBB melalui Sekretaris Jenderalnya, Ban Ki Moon, meminta Israel untuk menghentikan serangan terhadap Jalur Gaza.

Tetapi, semua seolah menguap. Permintaan banyak kepala negara di seluruh dunia tak digubris Israel. Segala keprihatinan penduduk dunia seperti tak berarti bagi Israel. Begitu pun dengan permintaan Sekjen PBB atau permintaan Presiden Perancis itu. Semuanya nyaris dianggap angin lalu. Bahkan dalam sebuah kesempatan di Paris, Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni, seperti saya kutip dari Harian Kompas, mengatakan tidak ada krisis kemanusian di Gaza. Sebuah pernyataan yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Juga, membuat saya bingung dengan definisi krisis kemanusiaan versi Menteri Luar Negeri Israel ini.

Apakah bagi Israel membunuh ratusan nyawa tak bersalah bukan krisis kemanusian? Apakah bagi Israel membuat cedera ribuan orang tak bersalah bukan krisis kemanusiaan? Apakah bagi Israel membunuh ratusan anak-anak yang seharusnya menjadi tunas harapan sebuah bangsa bukan krisis kemanusian?

Atau jangan-jangan Livni tengah menegaskan identitas bangsanya, Israel, melalui pernyataannya tersebut. Identitas sebagai bangsa tanpa rasa kasih sayang dan tanpa rasa kemanusiaan. Dan mungkin juga menegaskan jati diri Israel sebagai sebuah bangsa yang tengah bersiap mengikuti jejak kebengisan ala Jengis Khan, Raja Mongolia itu.

Untuk Gaza, Mereka Diam

Ratusan nyawa itu
harus meregang
dan terlepas secara paksa
dari raganya….
Mereka diam

Wanita-wanita itu menangis
dengan suara pilu yang menyayat
karena harus kehilangan
tunas-tunas harapannya…

Mereka masih diam

Anak-anak itu menjerit
sakit dan perih dirasa mereka
dan wajah-wajah tak berdosa itu pun harus berpisah
dari ayah, ibu, dan saudaranya
dengan cara durjana

Lagi, mereka diam

Tentara-tentara itu memuntahkan
ratusan, bahkan ribuan peluru
tanpa beban
tanpa perikemanusiaan
mereka datang, membunuh, dan membantai

Mereka masih saja diam

Lalu, bom-bom itu berjatuhan
dari langit bak air hujan
menghujani Gaza
meratakan Gaza
dan membasahi Gaza dengan lautan darah
Mereka juga diam

Mereka seakan lupa
sering menyebut diri sebagai pembela HAM
Mereka juga lupa
betapa seringnya ikut campur tangan terhadap urusan dalam negeri bangsa lain
karena masalah HAM

Mereka yang sering berjanji tentang tatanan dunia baru
dunia yang lebih berkeadilan
dunia tanpa kekerasan
dunia tanpa standar ganda

Justru, mereka sekarang seperti mencari pembenaran
atas apa yang terjadi di Gaza
Mereka yang dengan hak vetonya
membuat PBB tak bergeming
membuat PBB tak berkutik
bak macan ompong

Mereka pun seolah ingin mengatakan
apa yang terjadi di Gaza
bukan pelanggaran HAM
bukan…dan bukan
kata mereka tegas

Lantas, apa definisimu wahai Amerika tentang pelanggaran HAM?
Tidakkah cukup ratusan ribu warga Palestina yang harus meregang nyawa
karena senjata, bom, dan tank-tank Israel?
Tidakkah cukup jutaan anak-anak yang harus menjadi yatim piatu
karena kehilangan ibu atau ayah mereka?

Tidakkah cukup jutaan wanita yang harus menjanda
karena kehilangan suami mereka tercinta?
Tidakkah cukup jutaan wanita tak bisa lagi mengeluarkan air mata
karena harus kehilangan tunas-tunas harapan mereka?
Tidakkah cukup jutaan warga Palestina harus mengungsi
karena tempat tinggal mereka hancur oleh tank-tank Israel?

Ah, Amerika lagi kau membuat
seorang wargamu, Rachel Corrie menangis di sana
karena apa yang diperuangkannya
tak jua terwujud…
Dari KoKi Kompas